0

Lost

I’m lost. It’s not kind of trapped or something. But I’m lost. In my own dream. Ever since you’d gone away.

I’m lost. And everything that I’d dreamed about have gone. Nobody knows. Including me. All the sweetness and happiness. And the only thing I would miss forever. You.

I’m lost. And there’s no way home. There’s no home in my dream. The only home was when I keep staring at your sharp eyes. And you’d gone. So where is the right place for me?

I’m lost. And I’m insecure. It’s like “let go someone I don’t want to, but I must to”. You’d gone for no reason. You’d just gone. Where are you? Is my dreamland not good enough for you?

I’m lost. And bad thing happens, I miss you. I miss you messing my dreams up. I miss your sweet smile, your different accent, your board shoulders, and your honest personality.

I’m lost. And there’s nothing I could do. All I could do is just hoping. Please come back to my mind. To the world when I close my eyes. To the world when nobody knows, here, beneath my skin.

0

Wortel, Telur, dan Kopi

Seorang anak mengeluh kepada sang ayah karena ia merasa lelah menjalani hidup. Si ayah kemudian mengajak anaknya ke dapur dan mengambil tiga panci yang diisi air. Kemudian sang ayah meletakkannya di atas kompor dan menyalakan api. Kemudian, sang ayah memasukkan wortel, telur, dan kopi di masing-masing panci.

Setelah air mendidih, sang ayah mengambil wortel, telur, dan kopi dan meletakkannya di tempat yang berbeda. Lalu, si ayah menyuruh anaknya untuk mencoba ketiganya.

Pertama, si anak memakan wortel, sang ayah bertanya, “bagaimana teksturnya?” Si anak menjawab, “lunak.” Kemudian si anak memakan telur dan sang ayah bertanya, “bagaimana teksturnya?” Si anak menjawab, “keras.” Terakhir, si anak menyeduh kopi dan sang ayah kembali bertanya, “bagaimana rasanya?” Si anak menjawab, “nikmat.” Sang ayah tersenyum sambil bertanya, “kamu tau apa maksudnya?”

Si anak diam saja, kemudian sang ayah menjawab, “manusia diibaratkan wortel, telur, dan kopi ini. Semuanya dihadapkan dengan hal yang sama, yaitu direbus. Manusia pertama seperti wortel ini, ketika dia mendapat masalah, sifatnya yang semula keras menjadi lunak.”

Sang ayah melanjutkan, “manusia kedua seperti telur ini. Ketika dihadapkan masalah, manusia yang sebelumnya bersifat lembut menjadi keras. Dan manusia ketiga seperti kopi ini, semula dia pahit, namun setelah dia menghadapi masalah, dia bisa membuat nyaman sekitarnya dan menjadi nikmat seperti kopi.”

Terakhir, ayahnya bertanya sambil tersenyum, “Nah, anakku, dari tiga jenis manusia tadi, kamu termasuk yang mana?”

Selamat Menjalankan Sholat Isya!

0

All Too Well

Aku kembali
Ke tempat dimana seharusnya aku berada
Daun maple dan semua jepretan itu
Masih hangat tersimpan dan tertutup salju

Di sini dingin, seperti dulu
Bangku yang biasa kita duduki masih seperti dulu
Angin akhir Desember masih sama seperti dulu
Namun ada satu yang tidak seperti dulu

Akhir yang buruk
Bukan sesuatu yang aku harapkan
Aku justru tenggelam dalam lautan kesedihan dan kepedihan
Ketika semua memori kembali merekam ulang

Namun dirimu secara nyata–datang dengan berlari
Ke arahku, hanya untukku
Dengan syal lamaku di tanganmu
Dan senyum manis yang selalu kubayangkan

Perasaan bersalah yang bercampur
Dan kerinduan yang memuncak
Mengingatkanku betapa aku sangat kehilanganmu
Setelah perpisahan yang berumur lima tahun

Namun semuanya telah terbalas
Juga kecurigaan di antara kita
Lenyap seketika bersama butiran salju
Ketika kau melingkarkan lenganmu di punggungku
Dan syal merahku mengikat kita

0

Perbedaan

Aku telah lama mengenalmu. Sangat lama. Seolah kita memang ditakdirkan untuk bersama. Dan di akhir saat aku mulai merasakan sesuatu ketika bersamamu. So marvelous.

Dan ternyata kau juga merasakan hal yang sama denganku. Namun kita, tak bisa melakukan apa-apa. Kita berbeda. Bukan dari suku atau ras, namun lebih lagi. Kita berbeda kepercayaan.

Sejak awal kita sudah saling toleransi satu sama lain. Aku membiarkanmu pergi tiap Minggu pagi, dan kau membiarkanku pergi tiap lima waktu sehari. Kita paham akan perbedaan di antara kita.

Kita memiliki cara yang berbeda dalam beberapa hal. Aku menengadahkan tangan, dan kau mengepalkan tangan. Semuanya telah kita pahami dalam jangka waktu yang lama. Namun…

Apapun itu, kita tetap berbeda. Kita memiliki pendirian masing-masing. Aku tak mempercayai apa yang kau percayai, begitu pula denganmu. Kita merayakan hari raya yang berbeda dan dengan cara yang berbeda. Semuanya tak akan berasa sama lagi.

Namun perasaanku padamu, akankah luntur setelah tahun-tahun yang kita lalui? Aku terlalu menyukaimu, bahkan juga semua perbedaan itu. Tuhan memang satu, kita yang tak sama, tapi kita tetap abadi.

Dan pada akhirnya, tidak ada yang bisa kita lakukan. Perasaan kita memang akan terus ada, namun tidak selamanya sama. Pada akhirnya kau akan hidup bersama orang yang se-kepercayaan denganmu, begitu pula denganku.

Namun aku tetap tidak yakin. Jadi, biarlah waktu yang menjawab apa yang telah diatur oleh-Nya. Lakum dii nukum waliadiin. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.